Uniknya Pesta Rakyat Rengkong di Pandeglang


Kampung Paniis, Desa Tamanjaya, Kecamatan Sumur, yang terletak di daerah pesisir pantai menyimpan pesona terpendam. Selain panorama pantai dan hamparan sampah yang berpanorama gunung Honje, desa itu juga menyimpan tradisi dan budaya masyarakat nan unik. Sayangnya tradisi ini nyaris punah seiring modernisasi yang menggilas zaman.
Masyarakat Kampung Paniis, yang terdiri dari sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) ini, penduduknya sebagian besar bermata pencaharian petani. Kampung ini, memiliki kebiasaan menggelar seni budaya Regkong yang dikenal dengan nama Pesta Rengkong. Seni budaya ini merupakan hiburan rakyat yang dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya.
Pesta Rengkong, biasanya diadakan sebagai penanda musim tanam padi. Menurut penuturan salah seorang ketua Kampung Abah Kawi (70), Pesta Rengkong diadakan setiap tahun sekali atau pada saat tanaman padi mereka terserang penyakit. Tapi sudah hampir setelah 15 tahun, tradisi kesenian dan budaya ini baru digelar lagi, karena hampir dilupakan orang.
“Kegiatan pesta kesenian Rengkong ini, mirip dengan prosesi “sedekah bumi” yang banyak dijumpai di daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Diawali dengan membaca do’a bersama (ngariung), yang diikuti oleh seluruh penduduk kampung,” kata Abah Kawi. Pelaksanaannya, tambah Abah, bisa di Mesjid atau di tengah lapang yang relatif cukup besar. Setelah prosesi “ngariung” dilaksanakan, kemudian para orangtua alias orang-orang yang dituakan di kampung itu, menuju ke tengah lapang. Di lapangan terbuka itulah, tetua kampung menanamkan sesaji berupa nasi tumpeng dan minuman tujuh rupa, untuk ditanam disebuah lubang yang telah dipersiapkan.

Dalam tradisi ini, ada dua tumpeng yang biasanya ditanam, satu tumpeng ditanam di dekat sumber mata air, dan satu lagi ditanam di area lapangan terbuka yang dianggap sebagai simbol sedekah atas apa yang telah didapatkan dari alam. “Mata air dan lapangan terbuka, sebagai simbol kesuburan,” tambahnya, seraya mengatakan, prosesinya biasanya dilaksanakan sekitar 1 jam, menjelang Shalat Jum’at.
Disebut dengan Kesenian Rengkong, karena peralatan yang dibawanya adalah jenis Rengkong, dan warga berkumpul setelah menjalankan ibadah Shalat Jum’at. Rengkong, adalah sebuah alat yang terbuat dari bambu dengan panjang sekitar 1,5 meter. Kedua ujung bambu, kemudian diberi beban berupa karung yang berisi pasir pantai dan diikat dengan tali injuk pada kedua ujungnya.
Di setiap ujung bambunya, kemudian dihias dengan kertas “wajit” berwarna warni. Saat bambu ini mulai dipikul, dan digoyang-goyang oleh pembawanya, maka terciptalah bunyi bunyian yang cukup unik, “Ada sekitar 18 buah rengkong yang telah kami siapkan untuk tahun ini,” ujar Mulyadi, salah seorang pemuda kampung.


Sebelum rengkong-rengkong ini dibawa keliling kampung, puluhan ibu-ibu dengan  “alu” (penumbuk padi), berbaris mengelili lesung (alas penumbuk padi). Mereka  memukulkan alu-alu tersebut sehingga menciptakan irama yang khas, seperti rentetan nada dan menciptakan lagu.
Diiringi oleh gendang dan gong, ditambah suara pukulan alu, maka para pembawa rengkong itu, kemudian menari mengitari ibu-ibu yang menumbuk padi.
Nyanyian berbahasa Sunda, yang dilantunkan seorang ibu lewat pengeras suara menambah kesakralan prosesi ini, dan bunyi-bunyian serta suara yang dihasilkan dari tabuhan alu serta gong dan beberapa alat yang disiapkan, menjadi pengiring suasana.



Tarian, irama gendang dan gong serta nyanyian khas ini, semakin menambah semangat pembawa rengkong, disela-sela gerakannya, terkadang para pembawa rengkong ini berteriak-teriak untuk menyemangati pembawa rengkong lainnya. Ini dilakukan selama kurang lebih 30 menit. Kemudian, tetua kampung yang berada didalam lingkaran-pun, terkadang turut menambah semarak suasana, dengan lincah dia menampilkan gerakan-gerakan dasar silat ditengah lingkaran.
Selang beberapa menit, para pembawa rengkong tersebut kemudian mulai menyusun barisan. Dikomandoi oleh tetua kampung dan tiga orang penari, mereka kemudian mulai berjalan untuk mengelilingi kampung. Setiap sudut kampung mereka lewati, dan sambutan meriah dari masyarakat kampung menjadi penyemangat, sehingga rasa lelah atau capek terlupakan.


Komentar