Bambu Hitam Pelengkap Ritual


Kesenian Calung Renteng



SEJATINYA calung merupakan alat musik purwarupa dari angklung. Walau sama-sama terbuat dari bambu, namun berbeda dari segi bentuk serta cara memainkannya. Jika angklung dimainkan dengan cara dibenturkan, calung dimainkan dengan cara dipukul.
Calung sendiri memiliki berbagai varian selain calung jinjing juga kita bisa mengenal calung renteng.
Berbeda dengan calung pada umumnya, calung renteng tidak memiliki dudukan melainkan bilah-bilah bambu yang dihubungkan dan digantung menjulur ke bawah, dimulai dari tangga nada rendah hingga tinggi. Untuk memainkannya, calung renteng digantungkan pada rumah calung. Sementara, pemain calung duduk bersila sambil menabuh bilah-bilah bambu.
Biasanya alat musik ini di tabuh di saung (dangau) sawah oleh orang yang menunggu padi yang sedang menguning (menjelang masa panen). Di selasela menghalau burung yang mengganggu padi tersebut. Penunggu sawah itu, memainkan lagu-lagu tertentu untuk menghilangkan kebosanan. Lagu-lagu yang biasa di nyanyikan yaitu Rara Muncang, Buncis, Cimplung, Berenuk Mundur, serta lagu-lagu sunda lainnya.
Dalam perkembangannya, Calung Renteng juga menjadi kelengkapan musik pada perhelatan pesta Seren Taun atau Pesta Panen Padi Tahunan, sebelum para petani pemanen hasil sawahnya berangkat menuju lumbung padi. Sambil menghibur diri mereka selama perjalanan, ditemani permainan music calung renteng.
“Permainan kesenian itu, banyak dikembangkan atau dimainkan oleh kalangan petani dan daerah-daerah yang lumbung padi,” kata Rohendi, salah seorang Seniman asal Pandeglang, yang juga pengasuh dan pendiri lembaga seni Ciwasiat, Kabupaten Pandeglang.
Diakuinya, kesenian rampak bedug yang selama ini digelutinya, tak jarang juga dipadukan dengan alat music Calung. Calung sendiri, kata Rohendi, merupakan alat musik bambu yang dipukul, disebut renteng karena, calung-calung itu dijejerkan (direnteng) beberapa lapisan, kemudian dipukul sehingga menghasilkan musik indah.
Menurutnya, kesenian tersebut di kembangkan juga di kalangan masyarakat Baduy, Kanekes–Kabupaten Lebak. Masyarakat setempat memainkan Calung Renteng dengan di tabuh pada waktu luang, secara santai di teras atau di depan rumah mereka.
“Kalau yang sederhana, biasanya sepasang ujung tali Calung Renteng diikatkan pada tiang rumah di depan, sedang sepasang tali ujung lain di ikatkan ke pinggang si Penabuh. Calung di bawa dengan jalan digulung, lalu tali ujungnya di jinjing atau di solendang ke bahu, jadi tidak dalam keadaan merentang sehingga tidak repot ketika membawanya,” tambahnya.
Bentuk lain dari Calung Renteng, ujar Rohendi lagi, yaitu di beri standar yang terbuat dari bambu seperti Gambang. Bentuk ini di sebut Gambang Calung dan terdapat di beberapa daerah di Provinsi Banten ini, untuk di Kabupaten Pandeglang seperti di daerah Pulosari, Jiput, Cibaliung, Patia dan beberapa daerah lainnya.
Perkembangan kesenian tradisional ini, tambahnya, disaat Pandeglang dan Banten masih tergabung dalam Provinsi Jawa Barat (Jabar). Karena beberapa daerah di Jabar juga, seperti di Tasikmalaya, Sukabumi, Bandung dan beberapa daerah lainnya mengenal betul kesenian itu. Hanya saja, perbedaan mendasar biasanya terlihat dari sisi lagu yang dimainkan.
Kalau Lagu Calung Renteng di Tasikmalaya adalah Rangrang Muncang, sedangkan di wiiayah Pandeglang, Banten ada yang disebut Randa Keukeupan, Menta Kejo, Kejo Tutung, Cina Modar, Menta Seupah, Culut Endang. Ada pula lagu yang berjudul Baradang (Ubar Radang), penyakit ini (radang) akibat pemain Calung salah menabuh pada waktu melagukan lagu Bujang Bangas, sebagai alatnya di tabuhlah lagu Baradang.
Kebanyakan musik yang dimainkan berlaras Salendro, lagu-lagunya antara lain, Lagu Buncis, Bungur, Rangray, Cimplung, Lutung Luncat, Mulung Muncang dan lain-lain. Dapat di saksikan di masyarakat Baduy di Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak. Di Kampung Ciptarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Di Priangan terdapat di Banjaran, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung dan Kecamatan Ciwidey Kabupeten Bandung.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kabupaten Pandeglang Andi Kusnandi menyatakan, kesenian itu lahir dari ketidaksengajaan seseorang yang memukul kohkol (kentongan) untuk mengusir babi hutan yang sampai saat ini masih sering mengganggu tanaman. Dari beberapa kohkol yang dipukul, ternyata membentuk nada (laras) kemudian berkembang menjadi kesenian

Komentar